QURBAN
Kata kurban dalam bahasa arab berarti “udlhiyah”. Udlhiyah dan dluha pada awalnya bermakna “waktu dluha” yaitu waktu antara dari pukul 7 pagi hingga pukul 11 siang. Kemudian dijadikan sebagai nama bagi sembelihan kurban yang pelaksanaannya dianjurkan pada waktu dluha, di hari ke-10,11,12 dan 13 Dzulhijjah.
Secara bahasa “udlhiyah” atau jamaknya “dlahaya” berarti hewan sembelihan, atau menyembelih binatang pada pagi hari. Jadi definisi kurban (arabnya udlhiyah) ialah binatang yang disembelih pada hari raya kurban (Idul Adha). Dalam ilmu fiqh, kurban berarti penyembelihan hewan tertentu dengan niat mendekatkan diri kepada Allah SWT. (kurban) pada hari raya haji (Idul Adha) dan atau hari Tasriq (tanggal 10,11,12 dan 13 dzulhijjah).
Sedangkan menurut Wahbah al-Zuhaili, kurban (udlhiyah) secara bahasa ialah nama untuk suatu hewan yang disembelih, atau untuk hewan yang disembelih pada hari raya Idul Adha, sedangkan menurut fiqh kurban ialah menyembelih hewan tertentu dengan niat mendekatkan diri kepada Allah di dalam waktu tertentu. Muhammad al-Khatib al-Syarbani memberi definisi kurban (udlhiyah) sebagai berikut :
وَهِيَ مَا يُذ بَحُ مِنَ النَّعَمِ تَقَرُّبًا إِلى اللهِ تَعَاَلى مِنْ يَوْمِ ْالعِيْدِ إِلَى أخِرِ أيَّام التَّشْرِيْقِ
Artinya : “Kurban ialah hewan yang disembelih dari jenis hewan ternak untuk mendekatkan diri kepada Allah di hari raya Idul Adha sampai akhir hari tasyrik.“
Dan menurut Al-Jaziri kurban ialah untuk menyebutkan sesuatu hewan dari jenis hewan ternak yang disembelih atau dijadikan kurban untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. di hari raya Idul Adha baik dia sedang melaksanakan ibadah haji ataupun tidak mengerjakan.Dari definisi –definisi tersebut di atas, kurban adalah penyembelihan hewan ternak yang dilakukan pada hari raya Idul Adha dan sampai akhir hari
tasyrik (tanggal 11,12 dan 13 Dzulhijah) untuk mandekatkan diri kepada Allah SWT.
Dasar Hukum Kurban
Al-Qur’an maupun al-Sunnah sebagai sumber pokok hukum Islam banyak sekali menyebutkan tentang ibadah kurban, dan memerintahkan secara jelas dan tegas di antaranya :
وَلِكُلِّ اُمَّةٍ جَعَلنَا مَنْسَكًا لِيَذْ كُرُوا اسْمَ اللهِ عَلى مَارَزَقهُمْ مِنْ بَهِيْمَة
Artinya : “Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syari’atkan penyembelihan (kurban) supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah dirizqikan Allah kepada mereka”. (QS. Al-Hajj : 34)
Ayat al-Qur’an tersebut menunjukan adanya anjuran supaya berkurban untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. yaitu dengan menyembelih binatang ternak. Ayat lain dalam surat al-Kautsar dinyatakan, sebagai berikut :
إِنَّاَ أعْطيْنَاكَ اْلكَوْثَر. فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ. إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ اْلأبْتَرُ.
Artinya : “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah, sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus” . (QS : al-Kautsar:1-3)
Surat tersebut menunjukan agar selalu beribadah kepada Allah SWT. Dan berkurban sebagai tanda bersyukur atas nikmat yang telah dilimpahkan-Nya. Sedangkan hadits Nabi SAW yang menjadi dasar hukum kurban diantaranya :
يَا يُّهَاالنَّاسُ اِنَّ عَلى كُل أهْلِ بَيْتٍ في كلِّ عَامٍ أُضْحِيَّة (رواه أبو داود)
Artinya : “Hai manusia, sesungguhnya atas tiap-tiap ahli rumah pada tiap-tiap tahun disunatkan berkurban”. (HR. Abu Dawud).
Hadits Nabi SAW tersebut menerangkan bahwa berkurban itu bukanlah ditentukan untuk sekali saja melainkan disunatkan tiap-tiap tahun kalau ada kesanggupan untuk berkurban. Dalam hadits yang lain Nabi SAW bersabda:
عَنْ َأبِي هُرَيْرَة: َأنَّ رَسُوْل اللهِ صلى الله عليه وسلم قال : مَنْ كَانَ لهُ سَعَة وَلمْ يَضَحْ فَلا يَقْربَنَّ مُصَلَّانَا (رواه احمد وابن ماجه)
Artinya : “Dari Abi Hurairah: Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa yang mempunyai kemampuan tetapi tidak berkurban, maka janganlah ia menghampiri tempat shalat kami” . (HR. Ahmad dan Ibn Majah)
Dalil-dalil nash tersebut di atas, menurut jumhur ulama bahwa hukum kurban ialah sunat muakad dan bukan wajib. Namun menurut Abu Hanifah hukum kurban ialah wajib, karena menurut Abu Hanifah suatu perintah
menuntut adanya kewajiban. Istilah wajib disini menurut Abu Hanifah kedudukannya sedikit lebih rendah dari pada fardlu, dan lebih tinggi dari pada sunnah, karena hukumnya wajib, maka berdosalah orang yang meninggalkannya jika ia tergolong orang yang mampu. Selain madzhab Hanafi mengatakan bahwa hukum kurban ialah sunnat muakad dan tidak wajib, namun dimakruhkan bagi orang yang mampu berkurban dan tidak melaksanakan ibadah kurban.